Masyarakat merokok biasanya terdapat pada kelompok dengan golongan ekonomi rendah.
Sudah ada ribuan studi medis yang membuktikan dampak rokok terhadap kesehatan, namun masih banyak masyarakat yang menolak mempercayainya.
"Masih ada juga orang yang meragukan bukti ilmiah dampak buruk rokok bagi kesehatan, misalnya dengan mengatakan data anekdotal seperti 'di kampung saya ada perokok berat yang tetap hidup sampai usia 97 tahun'," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama, hari ini.
Tjandra mengatakan masih banyak masyarakat yang secara tidak tepat menghubungkan kebiasaan merokok dengan aspek ekonomi dan tenaga kerja. "Untuk sebagian masyarakat kita maka kebiasaan merokok sudah merupakan bagian dari semacam budaya," keluhnya.
Supaya penanggulangan masalah merokok berhasil, kata Tjandra, maka program penanggulangan harus berdasar bukti ilmiah yang kuat yang memang sudah ada, baik dari sudut kesehatan, ekonomi, dan sosial.
"Selain itu programnya dilakukan terus menerus, konsisten dan mampu melakukan advokasi, sehingga yang akan bergerak nantinya adalah pimpinan daerah dan masyarakat madani, bukan hanya kalangan kesehatan saja," ujarnya.
Data kementerian kesehatan menujukkan perokok remaja di tahun 1995 mencapai 7 persen sementara di tahun 2010 angkanya melonjak menjadi 19 persen.
Tjandra mengatakan masyarakat merokok biasanya terdapat pada kelompok dengan golongan ekonomi rendah. Tingginya biaya yang dikeluarkan untuk rokok lebih besar daripada program bantuan keluarga harapan.
"Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia, bila rata-rata konsumsi 10 batang rokok @ Rp 600 per orang per hari; pengeluaran per hari mencapai Rp 6.000 atau pengeluaran per orang per bulan: Rp 180.000, lebih besar dari Program Keluarga Harapan (Conditional Cash Transfer) untuk keluarga miskin: Rp 100.000 per bulan per keluarga," papar dia.
Penulis: Dessy Sagita/ Wisnu Cipto
Sudah ada ribuan studi medis yang membuktikan dampak rokok terhadap kesehatan, namun masih banyak masyarakat yang menolak mempercayainya.
"Masih ada juga orang yang meragukan bukti ilmiah dampak buruk rokok bagi kesehatan, misalnya dengan mengatakan data anekdotal seperti 'di kampung saya ada perokok berat yang tetap hidup sampai usia 97 tahun'," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama, hari ini.
Tjandra mengatakan masih banyak masyarakat yang secara tidak tepat menghubungkan kebiasaan merokok dengan aspek ekonomi dan tenaga kerja. "Untuk sebagian masyarakat kita maka kebiasaan merokok sudah merupakan bagian dari semacam budaya," keluhnya.
Supaya penanggulangan masalah merokok berhasil, kata Tjandra, maka program penanggulangan harus berdasar bukti ilmiah yang kuat yang memang sudah ada, baik dari sudut kesehatan, ekonomi, dan sosial.
"Selain itu programnya dilakukan terus menerus, konsisten dan mampu melakukan advokasi, sehingga yang akan bergerak nantinya adalah pimpinan daerah dan masyarakat madani, bukan hanya kalangan kesehatan saja," ujarnya.
Data kementerian kesehatan menujukkan perokok remaja di tahun 1995 mencapai 7 persen sementara di tahun 2010 angkanya melonjak menjadi 19 persen.
Tjandra mengatakan masyarakat merokok biasanya terdapat pada kelompok dengan golongan ekonomi rendah. Tingginya biaya yang dikeluarkan untuk rokok lebih besar daripada program bantuan keluarga harapan.
"Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia, bila rata-rata konsumsi 10 batang rokok @ Rp 600 per orang per hari; pengeluaran per hari mencapai Rp 6.000 atau pengeluaran per orang per bulan: Rp 180.000, lebih besar dari Program Keluarga Harapan (Conditional Cash Transfer) untuk keluarga miskin: Rp 100.000 per bulan per keluarga," papar dia.
Penulis: Dessy Sagita/ Wisnu Cipto
Betul paling sebel kalau pagi-pagi ditempat umum ada orang yang merokok harusnya pagi-pagi menghirup udara segar ee..malah menghirup asap rokok. mereka memang sudah tidak peduli lagi dengan lingkungan sekitar.
ReplyDelete